Selamatkan lingkungan dari kerusakan akibat tangan-tangan tidak bertanggung jawab.

Rabu, 24 Maret 2010

Refleksi Lingkungan Akhir Tahun

Keberhasilan konferensi juga ditandai dengan luluhnya Amerika Serikat turut menorehkan komitmen pada peta jalan Bali.
LEMBARAN 2007, meskipun hanya penggalan kecil agaknya bisa ditutup dengan kenangan manis. Kita berhasil menjadi
tuan rumah Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali yang berlangsung dari 3 sampai 14 Desember. Konferensi
yang menyedot banyak perhatian berbagai kalangan berhasil menyusun peta jalan (road map) Bali sebagai kerangka
kerja sama pasca -Kyoto Protocol tahun 2012.

Keberhasilan konferensi juga ditandai dengan luluhnya Amerika Serikat turut menorehkan komitmen pada peta jalan Bali.
Momentum konferensi digunakan Australia untuk menandatangani Protocol Kyoto sekaligus menjadi pertanda perubahan
arah kebijakan lingkungan Negeri Kanguru tersebut di bawah Perdana Menteri baru.
Pemadam Kebakaran
Beberapa bulan sebelum konferensi berlangsung, Pemerintah sangat giat menciptakan demam peduli panas global.
Mulai dengan gerakan bersepeda Jakarta-Bali sampai gerakan penanaman sepuluh juta pohon yang dilakukan berbagai
kalangan. Agaknya belum pernah gerakan lingkungan sampai se - massal sebagaimana yang kita saksikan beberapa
bulan terakhir ini. Mudah-mudah-an saja gerakan ini bisa merasuk sanubari setiap insan Indonesia sehingga berbuah
menjadi kultur peduli lingkungan dan tidak sebatas pada momen upacara.

Selama ini respons atas berbagai bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor dan banjir pasang bersifat reaktif bak
pemadam kebakaran. Ketika berbagai bencana itu muncul, mendadak sontak semuanya menjadi pakar lingkungan
dengan menyatakan bahwa semua hal itu disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Namun demikian reaksi itu berhenti
seiring dengan surutnya banjir dan pulihnya longsor.

Pada kondisi normal, persoalan lingkungan seolah-olah hanya menjadi tugas Kementerian Lingkungan Hidup. Tidaklah
mengherankan jika Menteri Rachmat Witular sempat mencetuskan bahwa Kementerian yang dipimpinnya seharusnya
mencakup urusan sumber daya alam sebagaimana yang dilakukan di Selandia Baru dan Filipina.

Sumber daya alam dimaksud meliputi sektor kehutanan, energi dan pertambangan, perikanan, kelautan dan pertanian.
Kegundahan Menteri Lingkungan sekaligus menunjukkan bahwa sektor lingkungan dan sumber daya alam yang
seharusnya berada pada satu gerbong visi, selama ini sering berjalan sendiri-sendiri karena persepsi yang
berbeda-beda. Isu menyatukan lingkungan dengan sumber daya alam sebenaranya telah mencuat saat pembentukan
kabinet SBY-JK tiga tahun yang lalu.
Wajah Buram Hukum
Di dalam negeri, berbagai catatan buruk menghiasi kalender lingkungan kita. Tanggal 4 November kita dikejutkan oleh
Keputusan Pengadilan Negeri Medan yang membebaskan Adeline Lis dalam perkara pembalakan hutan. Opini
masyarakat telah terbentuk oleh media bahwa Adeline melakukan kesalahan dengan membuka lahan dengan cara
pembakaran hutan yang menimbulkan kerusakan lingkungan sangat parah.

Alasan keputusan Pengadilan yang membebaskan Adeline karena usaha yang bersangkutan telah memiliki izin sungguh
aneh dan mencerminkan bagaimana persepsi Pengadilan tentang izin. Izin seolah-olah menjadi sapu jagad dan
menegasikan kewajiban pengelolaan lingkungan. Cara pandang semacam ini rupanya setali tiga uang dengan persepsi
kalangan Pemerintah bahwa izin hanya dipandang sebagai instrumen ekonomi semata dan bukan instrumen
pengendalian. Kekecewaan komunitas lingkungan bertambah ketika pada 18 Desember, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menolak gugatan WALHI terhadap PT Newmont Minahasa Raya yang dituduh mencemari lingkungan perairan
Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Keputusan tentang Adeline dan Newmont menambah daftar panjang kasus
lingkungan yang mentok di meja hijau.
Isu Moral
Bulan Oktober Al Gore dan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mendapatkan hadiah Nobel perdamaian
atas upayanya meyakinkan dunia bahwa pemanasan global dan perubahan iklim merupakan bahaya laten yang harus
dicegah. Keputusan pemberian nobel ini mengingatkan kita semua akan dua hal. Pertama, kerusakan lingkungan akibat
kegiatan manusia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan sehingga berpotensi menimbulkan konflik antarbangsa.

Kedua, makna perdamaian bukan hanya di sisi hilir di mana konflik, perang, pertempuran telah terjadi tetapi juga dilihat
dari sisi hulu di mana lingkungan memiliki potensi penyebab timbulnya konflik. Dalam kampanyenya lewat film an
incovenient truth, Al Gore beberapa kali menekankan bahwa pemanasan global sesungguhnya merupakan isu moral.
Perubahan iklim yang diwarnai dengan peningkatan suhu udara dan perubahan besaran dan distribusi curah hujan
membawa dampak buruk pada berbagai kehidupan manusia.

Suhu udara yang meningkat akan mengancam produksi pangan. Daerah padat penduduk menjadi rentan terhadap wabah
malaria dan demam berdarah. Curah hujan yang tinggi akan menambah luasan daerah genangan banjir. Kekeringan
akan mempengaruhi daerah lahan kering dan dataran tinggi. Kenaikan permukaan laut setinggi 60 cm akan membuat
sengsara penduduk di wilayah pesisir.

Dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang rendah, negara-negara berkembang berada pada
posisi yang rentan terhadap perubahan iklim. Mereka belum siap melakukan adaptasi dan mitigasi akibat dampak
pemanasan global. Perubahan iklim global secara kumulatif memang dipicu oleh kemajuan teknologi dan didominasi
ekonomi negara maju. Kalau negara-negara besar penghasil emisi tidak bertindak dan terus memproduksi emisi ke
atmosfir, mereka menjadi negara yang tidak bermoral, karena menjadi penyebab bencana kemanusiaan yang dahsyat.

Bencana lingkungan akibat panas global akan memicu konflik internal dan menyulut sentimen antarbangsa yang
mengelompok dalam kubu penyebab (injurer) dan yang menjadi korban (injured). Demikianlah, memang ciri dampak
lingkungan itu bersifat eksternalitas negatif. Yang terkena dampaknya adalah orang lain dan bukan pencetus atau
pemrakarsanya.

Analogi itu nampak pada berbagai bencana lingkungan di negara kita. Parahnya banjir pasang di Muara karang, Jakarta
Utara yang menimpa masyarakat berpenghasilan rendah dipicu oleh pembabatan hutan bakau dan reklamasi yang
dilakukan oleh kalangan pemilik modal. Rob di kota Semarang yang menerpa warga masyarakat di Bandarharjo,
Sedompyong, Kemijen dipicu oleh alih fungsi lahan tambak dan pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pihak lain
yang nota bene tidak tinggal didaerah rob.
Penghancur Hutan Tercepat
Bulan Mei kita dikejutkan publikasi Badan Dunia yang mengurusi pangan dan pertanian (FAO) yang menyebutkan bahwa
laju kerusakan hutan di Indonesia selama rentang waktu 2000-2005 merupakan yang tercepat di dunia. Setiap tahun
rata-rata 1,871 hektar hutan hancur atau 51 kilometer persegi per hari atau 300 lapangan sepak bola setiap jamnya.
Dengan angka itu, Indonesia akan dimasukkan dalam Guiness World Record yang mencatat Indonesia sebagai negara
penghancur hutan tercepat 2008. Meskipun pengumuman rekor itu belum kunjung muncul, namun catatan FAO itu pantas
menjadi perhatian kita semua.

Seiring dengan Konferensi di Bali, upaya memulihkan kondisi hutan sekaligus menyumbang pengurangan emisi diajukan
melalui skema REDD (Reduction Emission from Deforestration and Destruction) atau pengurangan emisi dari
deforestratasi dan kerusakan lahan melalui perdagangan karbon. Negara berkembang yang mampu memelihara
hutannya akan memperoleh kompensasi dari negara maju yang dihitung dari kemampuan hutan menyerap karbon. Dana
REDD cukup menggiurkan. Indonesia memiliki potensi memperoleh dana REDD sebesar Rp 1,8 triliun per tahun. Namun
demikian, perdagangan karbon ini menyulut kontroversi. Negara maju sebagai penghasil emisi yang besar tidak memiliki
kewajiban menurunkan emisinya karena telah membeli karbon di negara berkembang.

Skema ini dipandang tidak adil, karena negara maju akan terus menikmati kemewahan, sementara negara berkembang
harus menjaga hutan yang digaransikan dan tidak boleh dipergunakan untuk peruntukan lain. Kalangan LSM yang
menolak skema tersebut berargurmen bahwa fungsi hutan bukan hanya untuk menyerap karbon. Ia memiliki fungsi
sebagai pengatur tata air, pencegah erosi, penghasil keanekaragaman hayati yang selama ini dimanfaatkan oleh
masyarakat adat dan sekitar hutan. Kalangan LSM juga mengkhawatirkan, makin terdesaknya masyarakat adat di sekitar
hutan atas nama kepentingan negara maju. Di dalam negeri, muncul kekhawatiran akan pendayagunaan uang hasil
perdagangan karbon. Selama tata pemerintahan belum bersih, penyelewengan penggunaan dana perdagangan karbon
akan berpotensi terjadi. Nah, ternyata masih banyak PR menunggu di tahun baru. (11)

Oleh: Sudharto P. Hadi, Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip

sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0712/28/opi04.htm

Tidak ada komentar: